Iwan Sakral/Radar
ATUR STRATEGI: Menaklukan medan yang berat mesti dengan strategi khusus. Tampak sejumlah anggota tim sedang istrahat di punggung gunung TamboraMenaklukan Puncak Tambora dalam Ekspedisi Super Ekstrim Touring (3)
Penuh Mistik, Suara Orang Mengaji sering Terdengar
Dari 23 motor, yang sanggup tiba hingga posko terakhir hanya lima motor saja. Setelah berjalan kaki sejauh 300 meter mendaki puncak selatan. Tim petualang-pun turun kembali. Apa saja yang terjadi, dan bagaimana sisi mistik di wilayah pegunungan yang pernah menewaskan 10.000 jiwa saat meletus tahun 1815 tersebut? Ikuti tulisan terakhir wartawan koran ini.
Iwan Sakral—Dompu
Setelah memetik beberapa tangkai bunga edelweiss sebagai kenangan-kenangan, bupati Syaifurrahman Salman kemudian melangkah turun. Tak ada yang mengambil bunga edelweiss dalam jumla banyak. Selain ada semacam pantangan, juga segan rasanya membawa pulang bukti kemegahan puncak Tambora untuk jadi hiasan di rumah.
Perjalanan turun sangat sulit jauh lebih berat ketimbang mendaki. Kesulitan menjadi berlipat ganda ketika harus turun dari posko terakhir dengan menggunakan sepeda motor. Disini Bupati Dompu akhirnya menyerah dan memilih naik mobil. ‘’Sudah, tenaga saya telah habis,’’ tutur Syaifurrahman. Ia lalu naik mobil ranger 4 WD Strada Mistubishi yang merupakan mobil khusus segala medan.
Kemampuan menguasai motor dan fisik prima benar-benar diuji ketika harus menuruni punggung gunung yang curam. Rem cakram muka belakang kadang tak mampu menghentikan laju motor, sehingga mesti dibantu dengan operan persneling satu. Saking beratnya medan, motor terpaksa beberapa kali dihentikan untuk menghilangkan ngilu dilengan yang seperti sudah tak bisa digerakan lagi.
Empat anggota tersisa akhirnya bertemu dengan rombongan besar di posko III. Disini Kapolres, Wakapolres, Kepala BRI dan 10 anggota lainnya menunggu. Istrahat sejenak digunakan untuk saling bertukar cerita tentang sejumlah kejadian aneh yang dialami masing-masing peserta.
Wakapolres Dompu, AKP Purwadi Sik misalnya. Ia mengalami kejadian penuh mistis saat beristrahat di posko II. ‘’Saya sedang duduk, ketika tiba-tiba saya mendengar suara orang mengaji disebelah saya,’’ ujarnya sambil menunjukan bulu-bulu dilengannya yang memang berdiri ketika menceritakan hal tersebut.
Kemanapun ia memandang tak ditemukan siapapun, dan tidak masuk akal ada orang lain diketinggian pegunungan yang sekelilingnya adalah jurang. Meski sudah makan banyak asam garam petualangan. Wakapolres ini langsung memilih kabur secepat mungkin dengan motornya turun ke bawah.
Tomo, ajudan bupati yang menggunakan trail besar warna hijau lain lagi. Ketika ia sedang asyik berkosentrasi melewati medan tanjakan berpasir. Tiba-tiba ia melihat ada anak kecil melintas dan melambai-lambaikan tangannya minta ikut. Pria bertubuh kekar ini spontan saja ketakutan, akibatnya ia terjungkal dari motornya. ‘’Benar-benar aneh, bagaimana bisa ada anak kecil diatas itu,’’ cerita Tomo.
Meski semua petualang ini adalah orang-orang dengan nyali besar dan nyaris tak kenal takut. Namun etika alam dan menghormati tempat-tempat seperti itu sangat kental. Prilaku sembaranganpun tidak boleh ditunjukan. Kencingpun jika masih bisa ditahan sebaiknya tidak dilakukan. ‘’Kalaupun kencing tidak boleh menghadap arah barat,’’ jelas Ompu, salah seorang petualang yang sudah puluhan kali mendaki puncak Tambora.
Konon, cerita Ompu, di ketinggian punggung Tambora ini berdiri megah kerajaan Islam tapi dalam bentuk alam lain. Posisi duduk atau berdiri apalagi membuang sembarangan sampah bekas makanan sama sekali tidak dibolehkan. ‘’Siapa tahu itu rumah mereka (makhluk halus) atau tempat ibadahnya,’’ tutur Ompu.
Meski demikian, Ompu menuturkan, karena dikuasai oleh makhluk halus yang memeluk agama Islam. Tidak ada itikat jahat yang ditunjukan para penguasa Tambora tersebut. Meski seseorang tersesat selama berminggu-minggu sekalipun, ia tidak akan mati, karena selalu ada bantuan yang datang. ‘’Seperti seorang mahasiswa asal Malang yang tersesat selama seminggu, dia tetap selamat, karena dia tiba-tiba saja diberikan makanan atau minuman oleh orang yang tidak dikenal selama tersesat itu,’’ ungkap Ompu.
Bagaimana kalau bertingkah aneh-aneh atau macam-macam? Konon, akan muncul ular hijau berekor merah. Meski tak menyerang, namun kemunculan hewan-hewan misterius tersebut sebagai peringatan dini bahwa kehadiran orang tersebut tidak diinginkan. ‘’Sebaiknya langsung pulang saja, karena jika dipaksakan akan berakibat fatal, minimal ketika pulang akan jatuh sakit,’’ jelas Ompu yang akhirnya diinstruksikan oleh Bupati untuk membawa buldoser guna membuat jalan lebih baik menuju puncak Tambora setelah pendakian itu berakhir.
Entah berkaitan dengan hal itu, atau karena bupati sibuk menggalang program budidaya rumput laut. Yang jelas, botol-botol plastik bekas minuman tak ada satupun yang tercecer atau dibuang sembarangan di gunung Tambora. Semuanya dibawa pulang kembali. ‘’Botolnya untuk pelampung peternakan rumput laut,’’ kata Bupati. Koran ini juga termasuk dalam kelompok orang yang tidak pipis sekalipun selama pendakian puncak Tambora tersebut. Entah kebetulan atau tidak, koran ini beruntung tak menemukan hal aneh sedikitpun selain sempat mendengar suara lagu 11 Januari milik grup band Gigi. Tapi setelah kosentrasi lagi pada jalanan, tembang itu kemudian hilang sendiri.
Sekitar Pukul 18.30 Wita, seluruh anggota tim petualang akhirnya tiba dengan selamat di gerbang Tambora. Rasa syukur dan takjub kembali terlintas saat mendongak ke arah timur dimana puncak Tambora yang menjulang dibalik awan megah berdiri. Tak bisa dibayangkan, bagaimana puncak setinggi itu bisa ditaklukan dengan menggunakan sepeda motor. Sampai jumpa di eksepedisi-ekspedisi ekstrim lainnya. Salam!! * (habis)
Oleh : Iwan Sakral—Dompu